Di sekitar Cikampek, ada salah satu jalan layang yang sisinya
di cat merah dengan tulisan besar "Telkomsel Paling Indonesia". Tulisannya
cukup besar dan ditulis berulang. Sangat terbaca dari dalam kereta Argo Bromo Anggrek
yang membawa aku pulang ke Semarang.
Seketika itu juga aku jadi teringat dengan diskusi yang pernah
aku lakukan dengan salah satu pemerhati teknologi telekomunikasi, bapak Onno W Purbo.
Dalam diskusi tersebut aku pernah menanyakan perihal operator telepon seluler atau
yang lebih sering dikenal dengan nama provider telepon seluler.
Cukup menarik. Dari
diskusi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata tidak ada satupun provider
tersebut yang dimiliki oleh swasta nasional Indonesia. Semua sudah 'dibeli' oleh
pihak asing. Hanya satu yang 'masih lumayan' yaitu Telkomsel yang sebagian besar
masih 'milik Indonesia'.
Aku bukan mau promosi atau membela provider yang satu ini. Karena
bagi orang awam seperti aku ini, semua provider sama saja. Tergantung selera masing-
masing dan kondisi signal.
Yang menjadi keprihatinan adalah kenyataan bahwa pemilik provider
seluler adalah pihak asing. Itu artinya pengguna telepon seluler justru mendukung
dan menyumbang kemakmuran pihak asing. Padahal kemakmuran dan kondisi bangsa Indonesia
masih memprihatikan. Lalu kenapa harus menyejahterakan pihak asing?
Entah bagaimana ceritanya sampai semua perusahaan itu bisa jatuh
ke tangan pihak asing. Dengar- dengar , memang provider itu sengaja dijual. Oleh
siapa dan karena apa, itu yang belum jelas. Ada yang bilang untuk menyelamatkan
para pekerja provider tersebut. Biar tidak gulung tikar katanya. Biar gak banyak
PHK dan penggangguran.
Pernah terpikirkan oleh kita bagaimana jadinya jika pemilik provider
itu memutuskan untuk lebih memilih berinvestasi dibidang lain dan akhirnya provider
tersebut 'shut down'. Bukankah artinya PHK juga? Boleh saja kan, pihak asing tersebut
melakukan itu?
Dijualnya provider itu,tentu
saja merugikan bangsa Indonesia.
Memang nasi sudah menjadi bubur. Sudah terjadi
,paling hanya bisa disesali. Yang penting sekarang kita Harus mencari solusi untuk
membeli kembali 'milik Indonesia' itu. Mimpi di siang bolong? Boleh saja kalau ada
yang beranggapan seperti itu. Tapi yang jelas, Walau mimpi disiang bolong, mimpi
itu adalah mimpi untuk Indonesia yang lebih bermartabat.
benar pak.
ReplyDeletefakta yang pahit, moga segera kembali ke pangkuan ibu pertiwi
DeletePertama, karena riset teknologi di Indonesia itu minim. Kedua, karena sebagian besar lebih memilih teknologi asing untuk diterapkan di Indonesia. Ketiga, karena sebagian besar masyarakat Indonesia itu orientasinya masih dalam tahap memakai, bukan mengembangkan.
ReplyDeleteIntinya mental kita masih mental konsumtif ya? sedih juga
DeleteY, tak hanya di bidang telekomunikasi, di bidang lainnya pun nyaris serupa. Bangsa ini gandrung akan penjajahan.... kita tak memiliki semangat sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Mungkin nanti, masih berharap-kita memiliki pemimpin yang punya karakter dan semangat sebagai bangsa Merdeka...
ReplyDeletesalam :)
Masih harus didorong untuk mandiri dan merdeka. korupsi justru membuat penjajahan ini makin parah
DeleteInformasi yg bagus. Saya baru sadar bahwa Indonesia masih bergantung pada negara lain dalam berbagai hal termasuk telekomunikasi. Indonesia harus berubah dari konsumtif ke produktif :)
ReplyDeleteSemoga tidak berlarut-larut ya
Delete