Unforgettable Journey : Lost World or Lost Me

 on Thursday, April 10, 2014  

Butir- butir keringan dingin menetes cukup banyak di dahiku. Kuseka dengan punggung tangan kiriku. Kulirik jam tangan lusuh yang terpasang erat di pergelangan tangan kananku. Jarum panjang sudah mendekati angka 11 dan jarum kecilnya menunjuk angka 3. Ternyata sudah hampir dua jam aku berjalan. 

Dua jam yang lalu:
Perintah seniorku, kelompok dibagi dua, kelompok A dan kelompok B. Kelompok A akan berangkat menuju kaki gunung lebih awal sekitar setengah jam. Kelompok B yang didominasi anggota baru akan menyusul kemudian. Aku yang ada di kelompok B berjalan bersama 7 anggota baru dan 3 anggota lama. 

Karena tujuan tempat berkumpul akhir diubah, maka harus ada salah satu personil yang memberitahukan pada kelompok A yang terdiri dari 8 orang. Tempat kumpul akhir yang tadi pagi disetujui di Pasar Bunga Bandungan diganti ke Pasar Jimbaran. 

Pilihan personil pengirim berita jatuh pada aku. Waduh , kok aku, aku baru sekali ini ikut naik gunung. Jalur naik kemarin lewat Medini. Sekarang turun lewat jalur Jimbaran. Jalur Jimbaran aku sama sekali tidak tahu. Mungkin rasa kawatirku tampak jelas diwajahku. Para seniorpun segera menghiburku dengan mengatakan bahwa jalur turun ke Jimbaran cuma satu , jadi tidak mungkin tersesat. Kupikir ini salah satu ujian buatku.

Dengan berbekal keterangan para seniorku itu, aku segera lari menyusur jalan turun yang lumayan terjal. Semangat masih terjaga, rasa senang karena akhirnya merasakan nikmatnya naik gunung, membuat aku terus berjalan turun. Jalan setapak ini terasa indah dengan semak dan gerumbul hijau di kanan kiri jalan setapak. Sesekali kulihat bunga mawar hutan diujung gerumbul yang lebat. Diselingi dengan bunga berwarna kuning putih, yang namanyapun aku tak tahu.

Kuangkat tangan kananku, kulihat jam, aaaahhh sudah setengah jam berlalu. Kelompok didepan belum terlihat sama sekali. Kucoba percepat langkahku. Semoga sebentar lagi bisa kulihat teman-temanku di depan sana.

Sekarang:
Jantungku semakin tambah berdetak cepat. Debarannya semakin kuat. Napasku semakin terengah-engah. Entah karena aku kelelahan atau karena rasa takut. Pikirannya melayang kesana kemari. Bayangan tersesat di dalam hutan semakin membuat lututku gemetar. Gambaran berita di TV tentang pendaki yang ditemukan tergeletak digunung, makin membuat nyaliku ciut. 

Jalan setapak yang tadinya tampak indah, berganti dengan hutan menakutkan dengan bayangan kemunculan ular besar berbisa dan harimau yang kabarnya masih ada digunung ini. Udara yang sejuk dan segar segera saja berganti dengan udara yang berat dan panas di paru-paru.

Satu belokan kecil kulewati, ada batang pohon mati yang roboh melintang ditengah jalan setapak. Aku harus menunduk untuk lewat dibawahnya. Hati-hati sekali, supaya tidak terpeleset ke kali kecil yang beraliran deras dan jernih tepat disamping jalan setapak itu. 

Setelah melewati pohon tumbang itu, aku putuskan berhenti sebentar. Kujatuhkan badan hingga terduduk di tepi kali yang berair jernih ini. Aku turunkan ransel dari punggung dan kuletakkan ransel yang lumayan berat disamping kanan. Botol minuman yang telah kosong isinya dari dalam ransel kuambil, kuisi dengan air jernih di kali kecil ini. Terasa dingin ditangan, waktu tercelup dalam air. Segera kuminum dan kurasakan kesegaran baru segera masuk dalam kerongkonganku. Aaaahhhh. Rasanya nikmat sekali.


Waktu duduk sambil minum itulah kulihat ada bapak tua yang sedang memikul kayu dengan tongkat bambu. Rasanya kelegaan menyusuri setiap aliran darah dibadan. Botol segera kumasukkan ke dalam ransel yang segera saja bertengker dipunggungku.  

Segera kuhampiri bapak tua tadi, kutanya dengan sesopan mungkin. “Nyuwun sewu pak, nderek tangklet, menawi margi dating Pasar nJimbaran niko pundhi pak?”, tanyaku. (“Maaf pak, numpang tanya, jalan ke Pasar Jimbaran itu yang mana pak?”). “Ooo, ngajeng niku mas, mengke sak udhutan pun tekan Pasar nJimbaran”, jawab bapak tua sambil menunjuk kearah jalan setapak disisi kanannya. (“Ooo, didepan situ mas, nanti selama habis satu batang rokok sudah sampai”). “Matur suwun pak”, jawabku. (“Terima kasih pak”).

Segera kuturuni jalan setapak yang ditunjuk oleh bapak tua pencari kayu tadi. Kutengok bapak tadi sedang membetulkan letak pikulan dibahunya kemudian menuruni jalan kecil dikirinya. Cuma “sak udhutan” atau satu batang rokok. Berarti tidak jauh, paling setengah jam. Satu batang rokok kan tidak mungkin dihisap lebih dari setengah jam. 

Semangat kembali terpompa. Paling lama 40 menit lagi dah sampai di “peradaban” lagi. Menit demi menit aku lewati. Sudah 1 jam. Kok Pasar Jimbaran belum tampak. Jangankan pasar, desa atau rumah pendudukpun belum terlihat. Jangan jangan aku kesasar. Wadduuuhhh. Kacau nih. Dengan rasa takut yang mulai muncul lagi, aku beranikan terus menuruni jalan ini. 

Lutut sudah terasa lemas. Wilayah “peradaban” yang kuharapkan belum muncul didepan mata. Di depanku ada belokan lagi, sekitar 500 meter jauhnya. Setiap ada belokan, aku berharap bisa bertemu dengan rumah penduduk. Aku sudah sangat takut hilang di tengah gunung. 

Aaaaahhh, akhirnya. Di balik belokan tadi kulihat ladang kubis. Diantara ladang kubis tadi ada beberapa rumah penduduk berjejer rapi. Ada sekitar tujuh atau delapan rumah. Di pematang ladang kubis, banyak tumbuh mawar hutan. Warnanya merah cerah. Sama cerahnya dengan suasana hatiku yang lepas dari ketakutan. 

Ku masuki desa kecil tersebut, jalan makin lebar dan beraspal. Beberapa menit kemudian, aku sampai pada sebuah desa yang cukup besar. Kulewati sebuah Sekolah Dasar. Ada beberapa anak SD yang sedang berlatih pramuka.

Pasar Jimbaran sudah didepan mata, Beberapa mobil melintas didepanku. Dua angkot parkir diseberang jalan. Orang membawa sayuran berlalu lalang di bahu jalan. Hoooreeeeee inilah “peradaban”. 

Kunaiki angkot yang catnya sudah terkelupas disana-sini. Didalam sudah ada 2 ibu-ibu dengan keranjang sayur didepannya. Satu keranjang penuh jagung, dan satu lagi penuh sayur adas. Semilir angin sejuk kurasakan melewati dahiku kala angkot ikut berjalan menuju Pasar Bandungan.

Setelah kuserahkan 2 lembar ribuan kepada pak sopir, aku melangkah ke Pasar Bunga Bandungan. Aku sudah pernah kesini sekitar lima atau enam kali. Tapi, setelah ketakutan yang kurasakan, keindahan Pasar Bunga Bandungan terasa empat kali lipat dari terakhir aku kesini. Macam-macam anggrek demikian indah, lebih indah dari yang biasa kurasakan waktu melihat bunga-bunga tersebut sebelumnya. Bunga yang sungguh indah berjajar rapi di rak para pedagang bunga.


Kulihat teman-temanku duduk lemas disana. Ternyata mereka berjalan langsung kesini. Setelah kujelaskan bahwa titik penjemputan diganti ke Pasar Jimbaran, segera kami naik angkot ke Pasar Jimbaran. Dalam perjalanan kulihat kanan kiri jalan dari dalam angkot. Sangat indah. Lebih indah dari sebelumnya. 







Unforgettable Journey : Lost World or Lost Me 4.5 5 Darto Iwan Thursday, April 10, 2014 Gunung, Ungaran, Pengalaman, Tak Terlupakan Butir- butir keringan dingin menetes cukup banyak di dahiku. Kuseka dengan punggung tangan kiriku. Kulirik jam tangan lusuh yang terpasan...


7 comments:

  1. rokok bapak tua itu mungkin rokok lintingan pak...jadi habisnya lama...kalo rokok sekarang kan kebanyakan rokok filter,,,jadi habisnya cepat,,,,,alhamdulillah akhirnya bisa ketemu juga kan dengan pasar jimbaran....selamat berlomba ya,,semoga menjadi yg terbaik,,,keep happy blogging always,,,salam dari Makassar :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih pak Hariyanto.. jadi terbakar semangat nge-blog saya lebih hoootttt

      Delete
  2. wah mas Darto naik gunung juga rupanya ...kerennnn!!!
    makasih ya mas, sudah terdaftar sebagai peserta :)

    ReplyDelete

Silakan berkomentar ....